SUMBAR24JAM.COM – Namanya Ibrahim. Lahir di sebuah desa terpencil di Minangkabau 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Gunung Emas, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat. Ibrahim berasal dari keluarga Islam dan beradat asli Minangkabau. Lahir dalam kultur yang peduli terhadap pendidikan dan memiliki tradisi keagamaan yang kuat. Keluarganya adalah tergolong taat kepada agama Islam.
Walau pun sejarah mencatat Ibrahim yg kemudian lebih dikenal sebagai Tan Malaka adalah orang Indonesia pertama yang mengkonsep bentuk negara Indonesia merdeka adalah Republik, namun banyak anak bangsa Indonesia yg tidak mengetahuinya karena namanya dihilangkan dalam pelajaran buku sejarah Indonesia. Apalagi selama Orde Baru. Sejarawan Indonesia Mister Muhammad Yamin, menyebut Tan Malaka Bapak Republik Indonesia. April 1925 di Canton, Cina Tan Malaka telah menulis buku Naar De Republiek Indonesia atau Menuju Republik Indonesia, 20 tahun sebelum Indonesia merdeka. Buku inilah yg menjadi inspirasi bagi kaum pergerakan Indonesia berjuang untuk Indonesia merdeka.
Tan Malaka adalah Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Soekarno tahun 1963. Namun, hak-hak Tan Malaka sebagai pahlawan tidak pernah diberikan oleh negara. Sampai kini Pemerintah Indonesia tak pernah mengurus makamnya di sebuah desa di Kediri Jawa Timur.
Putra Minang yang Mendunia
Dalam perjuangan politiknya Tan Malaka memiliki beberapa nama samaran baik di dalam maupun luar negeri dengan alasan, karena Tan Malaka adalah buruan polisi kolonial dari berbagai negara. Untuk menghindari penangkapan dan pembunuhan, ia menggunakan nama samaran.
Ketika memasuki Manila dan Hongkong (1927)Tan Malaka merubah namanya menjadi Elias Fuente.
Bernama Oong Soong Lee ketika memasuki Hongkong dari Sanghai (1932), Ramli Husein saat kembali ke Indonesia dari Singapura melalui Penang terus ke Medan, Padang dan Jakarta (1942).
Ketika di Bayah (Banten), sebagai pekerja yang membantu romusha di masa revolusi, ia menggunakan nama Ilyas Husein.
Namanya yang lain Cheng Kun Tat, Elisoe, dan Howard Law. Extille adakalanya ditambah dengan Kiang Mai.
Ketika menulis karangan untuk harian Njali yang terbit di Batavia sejak bulan September 1925 sampai Mei 1926 menggunakan Haji Hasan dalam beberapa surat-surat yang ditulis buat kawan-kawannya, dan nama Nadir.
Tan Malaka menyamar sebagai Tan Ho Seng, ketika belajar dan bekerja sebagai guru bahasa di Nanyang Chinese Normal School, Singapura.
Adapun riwayat hidup Tan Malaka secara urutan waktu, sebagai berikut:
1897 Tan Malaka lahir, bermain dan sekolah diKweekschool.
1913 Setelah tamat Kweekschool Bukit Tinggi, atas bantuan gurunya dengan pinjaman biaya dariEngkufonds, meneruskan pelajarannya ke Rijks Kkweekschool di Haarlem, Nederland.
Sebelum berangkat ke Belanda, Ibrahim diberi gelar adat Minangkabau Datuk Tan Malaka. Artinya, dia kepala suku kaum nya. Tak sembarangan orang Minangkabau bisa memangku gelar adat ini. Konon dulu syaratnya ketat. Harus khatam (hafal) Al Qur’an dan pandai bersilat.
Selain menuntut ilmu di sekolah, beliau sudah aktif mempelajari keadaan masyarakat Eropa sejak meletus dan selesainya Perang Dunia ke-1 (1914-1918) serta pecah dan selesainya Revolusi Sosial di Rusia (Oktober 1917) yang bersambung dengan mulai berdiri dan mengumandangnya suara Internasionale III.
1918 Atas permintaan Ki Hadjar Dewantara yang mendatangi Tan Malaka bersama Dr. Gunawan di Nederland, mewakili Indische Vereeniging, dalam Kongres Pemuda Indonesia dan Pelajar Indologie di Deventer, memberikan prae-advies tentang pergerakan Nasional.
1919 Kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru sekolah untuk anak-anak kaum buruh perkebunan Senembah, di Sumatera Timur.
1921 Terjun dalam lapangan pendidikan rakyat yang didirikan oleh Serikat Islam Semarang, dan VSTP (Serikat Buruh Kereta Api) yang dipimpin oleh Semaun di Semarang.
Penganjur utama tentang pentingnya persatuan antara Kaum Kiri dan Islam dalam menentang kolonialisme/imperialisme. Hal ini dikemukakan dalam sebuah rapat Syarikat Islam di Semarang.
– Menjadi Wakil Ketua Serikat Buruh Pelikan (Tambang) Cepu yang didirikan oleh Semaun.
Waktu terjadi perpecahan dalam Syarikat Islam antara SI Merah dan SI Hijau, Tan Malaka mencoba mencegahnya dan meingatkan bahayanya politik ‘pecah & adu’ (devide et impera) yang di kala itu sedang digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk melumpuhkan gerakan-gerakan rakyat untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Ide Tan Malaka tersebut mendapat dukungan penuh dari seorang tokoh SI, Kyai Tubagus Hadikusumo.
1922 Tan Malaka mewakili Vaksentral-Revolusionerpemimpin pemogokan kaum buruh penggadaian (PPPB) di Jogjakarta dan mengatur solidaritas serta aksi yang dilancarkan oleh serikat buruh anggota Vaksentral-Revolusioner (VSTP., Pelabuhan, Pelikan, Gula, dan lainnya).Tanggal 2 Maret ia ditangkap dan dibuang ke Kupang (Timur), kemudian dalam bulan itu juga mendapat externing ke Eropa (Nederland). Tan Malaka ditangkap dan diasingkan pemerintah kolonial ke luar negeri.
Dari Belanda, ia pergi ke Moskow (Uni Sovyet) melalui Polandia. Ia dikejar-kejar intel dan spionase kolonial Belanda, Inggris, Jepang, Amerika Serikat, Perancis, rezim nasionalis Kumintang. Di mata mereka, Tan Malaka adalah buronan politik “kaliber kakap.” Berbicara dalam Perayaan 1 Mei yang diselenggarkan oleh kaum buruh dan Partai CPH Belanda dan kemudian dipilih sebagai calon dalam pemilihan umum parlemen. Menuju Jerman dan terjun langsung di tengah-tengah rakyat Jerman yang masih dalam keadaan penderitaan hidup karena harus menanggung seluruh hutang perang Serikat yang dibebankan kepada rakyat Jerman sebagai negeri kalah perang (Perang Dunia ke-1, tahun 1914-1918). Mewakili Indonesia (Hindia Belanda) dalam Kongres Komintern IV, kemudian diangkat sebagai Wakil Komintern di Asia dan berkedudukan di Canton, di mana daerahnya meliputi Burma, Siam, Annam, Filipina, Malaya dan Indonesia.
Bertemu dengan Dr. Sun Yat Sen, Presiden Republik Tiongkok pertama yang daerahnya waktu itu baru meliputi Tiongkok Selatan berpusat di Yenan.
1924 Diangkat sebagai Ketua Biro Buruh Lalu Lintas dalam sebuah Konferensi Pan-Fasifik yang diselenggarakan oleh utusan-utusan Komintern dan Provintern (Serikat Sekerja Internasional Merah) yang dikunjungi oleh utusan-utusan dari Tiongkok Utara & Selatan, Indonesia dan Filipina.
Memimpin Majalah berbahasa Inggris The Dawn(Fajar) sebagai suara dari Biro tersebut.
1925 Masuk Filipina dengan nama Elias Fuentes dan mendorong Rakyat Philipina melawan Spanyol dan Amerika.
1926 Masuk Singapura dengan nama Hasan Gozali, bertemu dengan Subakat, Sugono dan Djamaluddin Tamim yang berhasil meloloskan diri dari Indonesia.
1927 Bersama Subakat, Sugono dan Djamaluddin Tamim mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia) di Bangkok. untuk meluncurkan kembali langkah-langkah menyusun kekuatan menuju Indonesia merdeka.
– Masuk lagi ke Filipina tetapi tertangkap oleh Dinas Rahasia Amerika, di mana dalam perkara tersebut Tan Malaka dibela oleh parlemen dan presiden pertama Republik Filipina, Manuel Quezon. hakim Filipina atas permintaan pemerintah Amerika memutuskan mengeluarkan Tan Malaka dari Filipina ke Amoy.
1932 Berhasil masuk Hongkong dengan nama Ong Soong Lee, kemudian tertangkap oleh Polisi Rahasia Inggris. Setelah lebih tiga bulan ditahan dalam penjara Hongkong, Tan Malaka mendapat keputusan dikeluarkan ke Syanghai.
1936 Mendirikan dan mengajar pada School for Foreign Languages di Amoy, Cina.
1937 Ketika Jepang mulai mengarahkan serangannya menuju Amoy, Tan Malaka masuk Burma kemudian ke Singapura, bekerja sebagai guru bahasa Inggris di Sekolah Menengah Tinggi Singapura.
1942 Setelah mengalami pertempuran-pertempuran di sekitar Benteng Seletar antara tentara Jepang dan Inggris di Singapura, Tan Malaka masuk Penang menuju Medan, Padang dan akhirnya tiba di Jakarta.
1943 Menulis buku dan menyusun kekuatan di bawah tanah (ilegal) dengan merupakan dirinya sebagai buruh (roomusha) pada tambang batu bara di Bayah (Banten) dengan nama Husein, mengikuti jalannya tempo untuk dicetuskannya kelahiran Republik Indonesia Merdeka melalui revolusi.
1945 Pendorong para pemuda yang bekerja di bawah tanah di waktu pendudukan Jepang (Sukarni, Chairul Saleh, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Maruto, dan lain-lain) untuk mencetuskan revolusi yang kemudian terjadi dengan Proklamasi Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
1945. Beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan Tan Malaka bertemu dengan Presiden Soekarno. Dalam pertemuan itu Soekarno memberi Tan Malaka Surat Wasiat. Bila Soekarno-Hatta berhalangan memimpin Indonesia, Tan Malaka lah penggantinya untuk memimpin revolusi. Karena 15 September 1945, pasukan Sekutu sudah mendarat di Banten untuk melucuti tentara Jepang yg kalah perang. Di zaman Jepang Soekarno Hatta bekerja sama dengan Jepang. Bukan Tak mungkin Soekarno Hatta ditangkap Sekutu. Ini mungkin yg mendasari Soekarno memberi Tan Malaka Surat Wasiat (testamen politik). Baik dengan Belanda maupun dengan Jepang, Tan Malaka tidak pernah bekerja sama.
Masih di bulan September 1945 tepatnya tanggal 19, Tan Malaka dengan kalangan pemuda mengumpulkan ratusan ribu rakyat Jabodetabek di Lapangan Banteng Jakarta. Rapat raksasa yg dikenal dengan Peristiwa Ikada. Rapat itu untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia telah merdeka. Presiden Soekarno berpidato, kendati di bawah todongan senjata Jepang.
November 1945, Tan Malaka berangkat ke Jawa Timur, dan bertemu dengan ulama terkemuka Indonesia, KH. Hasyim Asy’ari. Berjam-jam kedua tokoh ini rapat di tengah gempuran pasukan Sekutu di Surabaya. Tan Malaka ikut bertempur dengan santri santri dalam Peristiwa 10 November 1945.
1946 Mendirikan Persatuan Perjuangan 4 Januari 1946 di Purwokerto yang mengikatkan persatuan antara sejumlah 141 organisasi terdiri dari pimpinan partai, serikat-serikat buruh, pemuda, wanita, tentara, laskar dan lain-lain, di atas dasar program revolusi yang dikenal dengan nama 7 Pasal Minimum Program, menolak politik kompromi dengan imperialis Belanda yang dimulai dengan politik 1 November dan 3 November 1945.
Kongres Persatuan Perjuangan dihadiri Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman. Pak Dirman berpidato ; Lebih baik di bom atom kalau Merdeka kurang dari 100%.”
1947 Menentang politik kompromi dengan Belanda, Perjanjian Linggarjati tahun 1947
1948 Menentang politik kompromi dengan Belanda, Perjanjian Renville tahun 1948.
Akibat menantang politik kompromi dengan Belanda oleh pemerintah waktu itu Tan Malaka dan tokoh2 Pesatuan Perjuangan Maret 1946 dijebloskan ke dalam penjara. Tan Malaka dkk difitnah akan melakukan kudeta.
Namun 2,5 tahun dalam penjara, Tan Malaka tak pernah diadili karena memang tak ada bukti.
Setelah Tan Malaka ditahan dalam penjara pemerintahan PM Syahrir (Linggarjati) dan PM Amir Syarifuddin (Renville) bebas melakukan perundingan dengan Belanda yg ingin menjajah Indonesia kembali.
Tan Malaka menegaskan : Tuan Rumah Tak akan berunding di rumahnya dengan maling yg menjarah rumahnya.
Perundingan Linggarjati dan Renville sangat merugikan posisi Indonesia. Wilayah Indonesia tinggal Sumatera dan sebagian Jawa.
Tan Malaka mengatakan, tanpa mengeluarkan sebutir peluru pun, Belanda bisa menguasai sebagian besar wilayah Indonesia yg direbut dengan susah payah dari tangan Jepang.
1948. Tanggal 16 September 1948, dua hari menjelang Pemberontakan PKI Muso di Madiun yg ingin mendirikan Republik Soviet Indonesia, Tan Malaka dikeluarkan dari penjara. Perdana Menteri Hatta ingin menghadapkan PKI Musso dengan Tan Malaka.
Karena sejak gagalnya pemberontakan PKI tahun 1926/1927, yang ditentang Tan Malaka, putra Minang ini telah telah menjadi musuh PKI nomor satu. Bahkan Muso ingin menggantung Tan Malaka kalau bertemu.
1948. Pada 7 November 1948 Tan Malaka mendirikan Partai Murba di Jogjakarta, pantai ini melanjutkan Program Persatuan Perjuangan.
– Pendiri Gerilya Pembela Proklamasi (GPP) yang berpusat di Jawa Timur.
1949 tanggal 21 Februari 1949 saat memimpin perang gerilya di Kediri Jawa Timur melawan agresi Belanda, Tan Malaka gugur. Tan Malaka ditembak mati. Pada saat itu para pemimpin pemerintahan pusat di Jogja sudah banyak yang ditangkap dan ditawan Belanda dan diasingkan ke Parapat Sumatera Utara.
Karya-karya Tan Malaka
Tan Malaka termasuk penulis produktif dalam menuangkan alam pikirannya. Walaupun dalam status buronan polisi kolonial dari berbagai negara penjajah, Tan Malaka tetap menuangkan gagasannya dalam berbagai buku.
Berikut ini adalah karya-karyanya:
Materialisme-Dialektika-Logika (Madilog)
Tebal kitab ini, 462 halaman, yang ditulis di Rajawati, dekat pabrik sepatu Kalibata, Cililitan, Jakarta dengan waktu yang dipakai lebih kurang 8 bulan, dari 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943 (berhenti 15 hari), 720 jam. Jadi, menurut Tan Malaka, kira-kira 3 jam sehari. Dalam seminggu empat hari ia pergunakan untuk menulis, yaitu dari pukul 6 sampai pukul 12. Setelah itu berjalan-jalan di desa. Tiga kali seminggu ke perpustakaan di Gambir dengan berjalan kaki yang memakan waktu 4 jam.
Kitab ini ditulisnya dengan tulisan tangan dengan hurup kecil supaya aman dari mata polisi dan tongkat kempetai Jepang. Tidak ada catatan bahan referensi, karena buku-bukunya telantar cerai berai dan lapuk atau hilang di berbagai tempat atau negara, – walaupun demikian menjelang habis Madilog ditulis, ia berjumpa dengan beberapa buku tentang logika dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Spanyol- sehingga ia mengandalkan ingatan Tan Malaka; jembatan keledai (ezelbruggetje).
Maksud penulisan Madilog menurut Tan Malaka, adalah pertama sebagai cara berpikir. Bukanlah suatu Weltanschauung atau pandangan dunia; walaupun, menurutnya, hubungan antara cara berpikir dan pandangan dunia atau filsafat adalah seperti tangga dengan rumah. Rapat sekali. Dari cara orang berpikir, dapat diduga filsafatnya dan dari filsafatnya dapat diketahui dengan cara dan metode apa sehingga sampai ke filsafat itu.
Kedua, Madilog juga diharapkannya sebagai bacaan penghubung kepada filsafat proletar Barat. Karena, menurutnya, otak proletar Indonesia tak bisa mencernakan paham yang berurat dan tumbuh pada masyarakat Barat yang berbeda sekali dengan masyarakat Indonesia dalam iklim, sejarah, keadaan jiwa dan cita-citanya.
Ketiga, untuk mengupas dan mengobati penyakit penjajahan, keterbelakangan dan kolonialisme, Tan Malaka menyajikan landasan pandangan yang beralaskan pada materialisme, dialektika dan logika. yang dituangkannya dalam sebuah buku Madilog. Dari sinilah kemudian, Tan Malakamemandang realitas lokal, nasional dan internasional dalam aneka lini kehidupan, termasuk di dalamnya keberadaan agama yang ia masukkan ke dalam kelompok kepercayaan.
Karya terbesar dari Tan Malaka ini diniatkannya sebagai upaya untuk merombak sistem berpikir bangsa Indonesia, dari pola berpikir yang penuh dengan mistik kepada satu cara berpikir yang rasional. Tanpa perombakan cara berpikir, sulit rasanya bangsa Indonesia untuk maju dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang merdeka dan sosialistik. MADILOG sebagai konsep berpikir yang memadukan ketiga unsurnya, yaitu MAterialisme, DIalektika dan LOGika, merupakan kesatuan dan tidak boleh dipecah-pecah.
Dari Pendjara ke Pendjara
Ditulis tahun 1946-1947 di penjara Ponorogo. Berisi tentang riwayat hidup (otobiografi). Ia menguraikan perjalanannya dari suatu negara ke negara lain untuk menghindar dari kejaran agen-agen kolonial. Ia juga memaparkan pandangan tentang kepercayaan, filsafat dan tentang negara. Dari buku inilah kebanyakan para pemerhati mendapat gambaran kehidupan Tan Malaka yang revolusioner.
Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi)
Ditulis di penjara Madiun 1948. Berisi tentang ajarannya dalam melakukan gerilya politik maupun ekonomi. Uraian tentang cara bergerilya dalam politik dengan strategi militer, maupun dengan penguatan ekonomi dengan merebut seluruh kekayaan asing. Keduanya menjadi satu dan saling menguatkan.
4. Sovyet atau Parlemen
Ditulis tahun 1921 di Semarang. Berisi tentang uraian sistem pemerintahan yang dikenal saat itu seperti sistem parlemen di Inggris mulai abad ke-12, juga di Perancis, Jerman dan lain-lain. Intinya menurut Tan Malaka, parlemen dengan sistem perwakilan yang dikenalnya hanya akan menjadi perkakas dari yang memerintah. Bersamaan dengan mulai menguatnya kapitalisme dengan ujung imperialisme, parlemen pada akhirnya hanyalah alat dari kapitalisme. Kemudian dengan tegas Tan Malaka membedakan parlemen dengan sovyet (Dewan Rakyat) yang menurutnya parlemen adalah alat untuk mengekalkan perburuhan dan kapitalisme, sedangkan sovyet (Dewan Rakyat) adalah alat sementara guna menghilangkan pengaruh kapitalisme (modal) untuk mendatangkan sosialisme.
Toendoek Kepada Kekoesaan, Tetapi Tidak Toendoek Kepada Kebenaran
Ditulis di Berlin tahun 1922. Berisi tentang pembelaannya ketika ditangkap di Bandung tanggal 13 Februari 1922 dengan tuduhan mengganggu ketertiban umum, membuat keonaran dan yang terberat adalah adalah usaha menggerakkan rakyat untuk mengadakan pemberontakan guna mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia. Ia menyatakan bahwa tuduhan itu tidak benar dan penguasa kolonial hanya berusaha untuk mematikan aktivitas pergerakan nasional saat itu.
Goetji Wasiat Kaoem Militer
Ditulis tahun 1924 di Saigon. Diterbitkan dengan nama Sumendap dan Daniel, tetapi menurut Poeze mungkin ditulis Tan Malaka.
Indonesiai ejo mesto na proboezjdajoesjtsjemsja vostoke
Diterbitkan di Moskow tahun 1924. Pada brosur ini tertulis Sukindat, tetapi menurut Poeze mungkin ditulis Tan Malaka. Poeze mengatakan, brosur ini berisi tentang thesis bagi keadaan sosial dan ekonomi serta tuntutan untuk berorganisasi yang mengembangkan strategi dan taktik untuk diterapkan di Indonesia.
Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia)
Diterbitkan di Canton, April 1925. Berisi tentang uraiannya akan kondisi dunia, pertentangan dua sistem antara kapitalisme dan komunisme. Dilanjutkan dengan dengan situasi di Indonesia di mana penjajah Belanda melakukan penjajahan dengan biadab, namun Tan Malaka yakin suatu saat penjajah akan kalah apabila semua organisasi perjuangan yang ada dapat menyusun tujuan revolusionernya.
Massa Actie
Ditulis di Singapura tahun 1926. Secara umum brosur ini berisi tuntutan bagaimana melakukan sebuah revolusi di Indonesia. Sebuah revolusi terutama di Jawa dan Sumatera adalah sesuatu yang tak dapat dihindarkan. Baginya tidak ada sikap yang netral, yang ada adalah berpihak pada penjajah Belanda atau rakyat terjajah Indonesia. Dari sini kemudian baru Tan Malaka beralih pada bagaimana menjalankan revolusi yang benar, dan massa aksi bukan putch, tidak bisa dicapai olehpemberontakan atau kudeta secara anarkis.
Manifesto PARI (Manifesto Bangkok)
Ditulis di Bangkok 1927. Berisi uraian tentang perlunya membentuk partai baru dan menamakannya PARI (Partai Republik Indonesia) yang dibentuk semata-mata untuk kepentingan Indonesia serta akan memberikan yang terbaik untuk itu. Manifesto ini mengoreksi kesalahan PKI, yaitu pemberontakan 1926/1927 yang menyebabkan hancurnya partai dan mereka tidak bermaksud memunculkan partai ini lagi, karena beranggapan tidak mungkin jika mendirikan partai-partai yang telah melakukan cukup kesalahan. Kemudian manifesto juga menyatakan pemutusan dengan Internasionale (Comintren) yang menurutnya tidak akan baik di Indonesia. Dengan mengambil contoh dari Jerman, Italia, Bulgaria dan China dinyatakannya kepemimpinan Moscow gagal untuk negeri lain. Seluruh Internasionale Ketiga (Comintern) dibangun demi kepentingan Rusia dan terutama pemimpin-pemimpin komunis dari Timur cenderung akan terjebak kepada ketaatan buta dan kehilangan kemandirian mereka, akibatnya mereka akan kehilangan hubungan dengan rakyat mereka sendiri yang tentunya berlainan dengan suasana kejiwaan rakyat Rusia.
Lokal dan Nasional Aksi di Indonesia Diterbitkan di Singapura 1926. Menurut Sejarawan Belanda Harry Poeze, brosur ini diterbitkan dalam bagian yang terpisah, secara rahasia disebabkan dengan cara menyalinnya dengan mesin ketik. Bagian pertama dikenal juga dengan judul “Soerat Rahasia boeat lokal aksi di Minangkabau”, 20 September 1926.
SI Semarang dan Onderwijs Ditulis di Semarang tahun 1921 pada saat Tan Malaka berusaha merumuskan tujuan pendidikan dari sekolah Serikat Islam yang mulai dibangunnya (dikenal juga dengan sekolah Tan Malaka). Berisi pokok-pokok pikiran yang akan dikembangkan/diajarkan dalam sekolahnya.
Asia Bergabung (Gabungan Aslia) Ditulis tahun 1943. Menurut Poeze hanya selesai separuh.
Semangat Moeda Ditulis di Manila tahun 1926, namun oleh Tan Malaka dikatakan di Tokyo sebagai tempat penerbitannya.
15. Politik
Ditulis di Surabaya pada tanggal 24 November 1945. Berisi tentang percakapan antara Godam (simbolisasi kaum buruh), Pacul (petani), Toke (pedagang), Den Mas (ningrat) dan Mr. Apal (wakil kaum intelektual). Menguraikan tentang bagaimana caranya merdeka, maksud dan tujuan kemerdekaan, serta bagaimana mengisi kemerdekaan itu dan yang tak kalah penting adalah Indonesia Merdeka harus berdasarkan sosialisme.
16. Rentjana Ekonomi
Ditulis di Surabaya pada tanggal 28 November 1945. Berisi tentang percakapan dengan simbolisasi yang sama seperti yang ada dalam politik. Menguraikan tentang rencana pembangunan ekonomi, yang menurutnya ekonomi sosialislah yang dapat membawa kemakmuran bagi Indonesia kelak.
Moeslihat Ditulis di Surabaya pada tanggal 2 Desember 1945. Berisi tentang percakapan dengan simbolisasi yang sama seperti yang ada dalam politik. Menguraikan tentang strategi dan taktik dalam perjuangan untuk membawa Indonesia ke arah kemerdekaan.
Manifesto PARI (Manifesto Jakarta) Ditulis di Jakarta tahun 1945. Menguraikan tentang pertentangan sistem yang ada di dunia, antara kapitalisme dengan komunisme yang menurutnya akan dimenangkan oleh komunisme serta penolakan atas percobaan pendirian Republik Indonesia yang kapitalis dan membatalkan semua upaya dari luar untuk menjajah kembali Indonesia dengan cara apa pun.
Thesis Ditulis tahun 1946 di Lawu. Berisi tentang ajarannya mengenai pembentukan negara sosialistis. Uraian tentang perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia seratus persen. Juga pembelaannya terhadap tuduhan Trotsky yang selalu dituduhkan kepadanya, berkenaan dengan pemberontakan PKI 1926 yang gagal dan oleh pihak PKI kegagalan itu selalu dialamatkan kepada Tan Malaka sebagai orang yang menyabotnya.
Koehandel Di Kaliurang (Perdagangan Sapi di Kaliurang)
Ditulis tanggal 16 April 1948 dengan nama samaran Dasuki. Berisi tentang penolakan terhadap perjuangan diplomasi yang tidak berprinsip, yang dilakukan oleh pemerintah saat itu. Perjuangan lewat diplomasi hanya akan merugikan Indonesia dan menjual Indonesia kepada kaum kapital asing, oleh karena itu perundingan harus dibatalkan atau dihandel dan mempersiapkan kaum MURBA untuk berjuang.
Surat Kepada Partai Rakyat
Ditulis 31 Juli 1948 di penjara Magelang sebagai sambutan tertulis dalam pembentukan Kongres Partai Rakyat tanggal 10-11-12 Agustus 1948. berisi tentang bagaimana mengorganisasikan Partai Rakyat agar menjadi partai yang memperhatikan dan memperjuangkan rakyat MURBA.
Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya
Pidato tertulis pada Kongres Rakyat Indonesia Desember 1948. Berisi tentang penolakan perundingan yang dilakukan Indonesia saat itu dan persiapan perang kemerdekaan dalam menghadapi agresi militer Belanda.
Uraian Mendadak
Merupakan salinan tertulis dari pidato yang diucapkan di depan Kongres peleburan tiga partai (Partai Rakyat, Partai Buruh, dan Partai Rakyat Jelata) menjadi Partai Murba. Berisi tentang reorganisasi partai dan uraian untuk tetap mempertahankan Republik Proklamasi 17 Agustus 1945.
Karya-karya tulis Tan Malaka meliputi semua bidang kemasyarakatan dan kenegaraan-politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran, terlihat benang putih keilmiahan dan ke-Indonesiaan, serta benang merah orsinalitas, kemandirian, kekonsekuenan, dan konsistensi yang direnda jelas dalam gagasan-gagasannya dan perjuangan implementasinya dalam rumusan konsepsional dan penjabaran operasionalnya.
Setting Sosial Politik Tan Malaka
Latar kehidupan Tan Malaka berada dalam ruang dan waktu dengan sosiopolitikkultural yang melingkupinya. Paling tidak, ada tiga situasi dan kondisi penting yang mewarnai pandangan serta perjalanan hidup Tan Malaka yaitu, keadaan internasional, Minangkabau dan alam pikir Barat.
Pertama Keadaan internasional Menurut Tan Malaka:
Tahun 1918, terjadi perjanjian Versailles. Pada waktu itu dunia sedang gemuruh. Satu negara besar dan baru dalam di segala-gala timbul, ialah Sovyet Rusia. Pada jaman itu saya masih muda, masih belajar di Eropa Barat. Dalam usia Sturm und Drang periode itu, dalam usia sedang bergelora itu saya dilondong topan yang bertiup dari Eropa Timur itu. Dunia Barat sendiri pada masa itu seakan-akan mengikuti Sovyet Rusia. Dari dunia Eropa Timur itulah saya mendapatkan semua ilham dan petunjuk yang saya rasa perlu buat perjuangan politik, ekonomi dan sosial kita.
Di bidang politik di Eropa, terjadi dampak pergolakan politik Pascaperang Dunia I di Eropa pada umumnya dan di Belanda pada khususnya. Revolusi Oktober 1917 di Rusia yang disusul oleh gerakan revolusioner kaum sosial-demokrat Belanda yang dipimpin oleh Troestra memberi inspirasi kepada unsur-unsur progresif Indonesia yang tergabung dalam ISDV untuk menuntut pemerintahan sendiri dan perwakilan hak-hak yang luas.
Di bidang ekonomi, Perang Dunia I mengakibatkan kemacetan pengangkutan hasil perkebunan sehingga pengusaha perkebunan mengurangi produksinya sehingga berakibat rakyat banyak kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Penderitaan rakyat bertambah besar lebih-lebih karena gubernemen membebankan pajak yang lebih berat kepada rakyat.
Perkembangan politik kolonial Belanda adalah politik kolonial konservatif (1800-1848), cultuurstelsel(1830-1870), permulaan politik kolonial liberal (1850-1870) dan politik ethis (1900), yakni edukasi, irigasi dan emigrasi.
Tan Malaka lahir pada akhir abad ke-19, ketika diberlakukannya politik etis Belanda. Politik etis ini merupakan politik balas budi bangsa Belanda kepada Hindia Belanda oleh keuntungan yang diperolehnya selama dasawarsa-dasawarsa yang lalu. Kebijakan politik ini adalah terbukanya kesempatan yang makin luas di kalangan pribumi untuk memperoleh pendidikan modern ala Belanda. Pendidikan ini juga untuk memenuhi kebutuhan atas tenaga-tenaga terdidik untuk birokrasi. Dari sinilah munculnya beberapa intelektual muda yang bersentuhan dengan pemikiran Barat, termasuk tentang nasionalisme.
Kedua, alam Minangkabau. Secara sosiologis, nagari -kesatuan masyarakat lokal dalam masyarakat Minangkabau- merupakan konsep kosmologis yang di dalamnya terkandung kehidupan religius yang bersifat kontemplatif transenden. Secara holistik, dalam nagari tidak saja diurus masalah teknis pemerintahan, malahan sampai pada hal-hal yang bersifat transenden seperti kehidupan surau. Surau pada jaman dahulu merupakan kelengkapan suku dan tempat berkumpulnya anak-anak muda serta remaja dalam upaya menimba ilmu pengetahuan. Surau sekaligus juga digunakan sebagai tidur bersama, membahas berbagai ilmu agama, dan juga dimanfaatkan sebagai tempat penyelesaian berbagai permasalahan yang dihadapi oleh suku melalui musyawarah bersama yang merupakan inti demokrasi kultural nagari.
Daerah Minangkabau pada permulaan abad ini mengenal tiga paham yang pada umumnya berpengaruh pada diri penduduknya. Ketiga paham itu adalah paham Islam, adat dan kolonialisme serta berbagai implikasi yang dikandungnya. Ketiganya mempunyai pendukung walaupun para pendukung ini juga terpengaruh oleh ketiganya. Bentrokan paham, negosiasi dan saling memanfaatkan dari interaksi pendukung tersebut sering terjadi.
Daerah Minangkabau merupakan daerah terbuka dari lalu lintas dunia internasional untuk melakukan aktivitas politik, ekonomi, agama dan budaya.Sifat pragmatis dari sebagian penduduk cepat mengambil manfaat dari perkembangan yang berlaku. Kemudian dalam mengambil manfaat dari administrasi perdagangan, administrasi pemerintahan dan juga dalam bidang pendidikan.
Bukit Tinggi menjadi pusat pendidikan se-Sumatera. Sekolah Raja, yaitu sekolah guru berbahasa Belanda (Kweekschool) yang berada di kota itu merupakan tempat melatih pada tingkat menengah anak-anak Indonesia dari seluruh Sumatera. Sekolah ini adalah tempat penampungan bagi anak-anak kalangan bangsawan dan orang-orang besar lainnya di pulau tersebut.
Merantau merupakan bagian dari tradisi Minangkabau. Kedudukan perantau begitu mulia dalam masyarakat. Pergi merantau, menurut visi falsafah Minangkabau dapat membuka mata untuk mengenal dunia luar yang luas, di mana mereka akan mendapatkan hal-hal baru yang nanti akan dibawanya pulang. Merantau, bukanlah semata mencari uang atau harta, melainkan juga menuntut ilmu atau mengaji. Berdasarkan batasan ini, menurut Alfian, Tan Malaka adalah seorang perantau, baik fisik maupun mental (pemikiran).
Rantau pertama yang dialami Tan Malaka ialah ketika dia meninggalkan desa tempat lahirnya pergi menuntut ilmu ke “Sekolah Raja” di Bukit Tinggi. Walaupun masih berada di alam Minangkabau, tapi alam asalnya adalah Nagari Pandan Gadang. Sewaktu dia tamat belajar di Bukit Tinggi, ia diberi gelar Datuk Tan Malaka oleh kaum atau sukunya, sebagai kepala adat mereka. Ini berkait erat dengan ilmu yang diperolehnya di rantau. Tidak lama sesudah itu, dia pergi lagi melanjutkan studinya ke negeri Belanda, perantauan yang amat jauh bagi anak muda yang baru berumur 16 tahun. Ruang lingkup alamnya lambat laun berubah dari Nagari Pandan Gadang yang kecil meluas menjadi Minangkabau dan kemudian Indonesia.Modal ini dikembangkan Tan Malaka untuk memahami dan menginterpretasikan permasalahan-permasalahan masyarakat Indonesia.
Visi adat dan falsafah Minangkabau dari merantau untuk mengontraskan atau membandingkan dunia rantaunya dengan realitas alam asalnya, sehingga dapat melihat mana yang baik dan yang buruk dari keduanya. Hal ini mengundang orang berpikir kritis dan dialektis. Oleh karena itu kontradiksi atau konflik dianggap wajar, terutama karena suasana tersebut akan selalu dapat diintegrasikan atau diselesaikan secara memuaskan atau harmonis melalui proses pemilihan mana yang baik dan buruk dengan akal, yaitu kemampuan berpikir secara rasionil. Dengan demikian, visi itu mendorong orang untuk berpikir secara kritis, dinamis atau dialektis. Cara berpikir demikian dengan sendirinya menolak dogmatisme atau parokhialisme. Karena menolak dogmatisme, maka dengan sendirinya menghendaki kebebasan berpikir.
Dalam perantauan, mental Tan Malaka berhasil melepaskan diri dari keterikatan terhadap salah satu dari berbagai corak nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan berhasil melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang bercorak lain, berbobot dan orisinal. Ini karena mempunyai idealisme untuk membangun manusia dan masyarakat Indonesia baru, menghargai kebebasan berpikir dan memiliki sikap kritis yang tajam serta mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri yang kuat sehingga mendorong untuk memiliki keberanian mengembangkan pemikiran sendiri.
Ketiga, alam pikir Barat. Pada usia sekitar 23 tahun, Tan Malaka mengalami pergulatan batin dan pikiran tentang agama yang bekaitan dengan mistik. Dalam satu suratnya Tan Malaka menulis untuk salah seorang temannya, Dick: “…aku pun masih mencari-cari, atau yang lebih tepat, masih menyelidiki. Aku sudah memilih arah pokok dalam kehidupan sosial dan agama, bila yang belakangan ini dapat kusebut demikian.
Kelak pada perkembangan kehidupannya Tan Malaka memiliki pandangan bahwa Islam memiliki kekuatan revolusioner dan dapat menjadi alat untuk melawan kolonialisme dan imperialisme dengan melakukan pembelaan dan menganjurkan untuk bekerja dengan terhadap Serikat Islam.Di bidang agama perhatiannya besar sekali pada soal-soal .
Kepergiannya ke negeri Belanda bisa disebut sebagai jendela awal perkenalannya pada dunia luar. Berkenalanlah dirinya dengan paham sosialisme dan menjadikannya berkenalan dengan pemikiran Nietzche dan karya-karya Th. C. Arlyle, yang membuatnya berada dalam semangat dan paham revolusioner. Tan Malaka menyerap secara kritis alam pikir Hegel, Lenin, Karl Marx, Engels dan Charles Darwin. Ini ditandai dengan banyaknya rujukan kepada tokoh-tokoh tersebut sebagai kerangka acuan pemikirannya, terutama dalam bukunya, Madilog.
Selanjutnya adalah persentuhan pemikiran Tan Malaka dengan berbagai kalangan sampai para aktivis, pemikir dan tokoh dunia Barat. Dengan didukung modal minat, semangat dan kecerdasan yang dimilikinya untuk belajar; jaringan pergaulan, berorganisasi ditambah kemampuan penguasaan bahasa yang banyak, menjadi bekal perjuangannya di dalam maupun luar negeri. Menurut pengakuan Tan Malaka, ia menguasai berbagai bahasa seperti, Belanda, Jerman, Inggris, Melayu, Jawa, Perancis, Tagalog, Siam dan Cina. Dari kemampuan bahasa ini, Tan Malaka mendirikan sekolah bahasa di Amoy, School for Foreigen Languages yang berkembang pesat kemajuannya
Dari sebagian tulisannya, basis pandangan tentang realitas, Tan Malaka memilih menggunakan materialisme dan rasionalisme meski Tan Malaka melakukan penafsiran ulang demi penyesuaian situasi dan kondisi Indonesia. Alam pikir Barat berperan dalam perjalanan kehidupan Tan Malaka. Alam dan kerangka pikir Barat diselami, akan tetapi dalam penggunaannya disaring secara kritis dan dinamis.
Dari latar keadaan internasional, adat Minangkabau dan alam pikir Barat, tidaklah aneh jika dia dijuluki nasionalis, sosialis yang beragama Islam. Berikut beberapa komentar atas sosok Tan Malaka :
Pokoknya di dalam sekujur tubuhnya mengalir sederas-derasnya, darah anti-Imperialisme, anti-Kolonialisme, sedang setiap denyut jantungnya membersihkan nafas perjuangan kemerdekaan Tanah Air dan Bangsanya.
“Saya kenal almarhum Tan Malaka. Saya baca semua ia punya tulisan-tulisan. Saya berbicara dengan beliau berjam-jam, dan selalu di dalam pembicaraan-pembicaraan saya dengan almarhum Tan Malaka ini, kecuali tampak bahwa Tan Malaka adalah pecinta tanah air dan bangsa Indonesia, ia adalah sosialis sepenuh-penuhnya” (Pidato Presiden Soekarno pada Kongres ke IV Partai Murba tahun 1957 di Bandung.(*)
Oleh : Mohammad Devara Pratama