Sumbar24jam.com,Pesisir selatan (Sumbar):
Adapupun makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Penemuan Hukum. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Kepastian Hukum Ketika Terjadi Ketidakkonsistenan Kepastian Hukum Ketika Terjadi Permasalahan Hukum Berkaitan Dengan Perampasan Aset bagi para pembaca dan diri penulis pribadi.Painan,rabu 01/12/2021.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Fahmiron,S.H M..Hum selaku Dosen Mata Kuliah Penemuan Hukum sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini untuk kedepanya .
Pendahuluan
Semua pihak setuju bahwa korupsi dan pencucian uang adalah tindak pidana yang bersifat luar biasa dan harus ditangani secara luar biasa (extra ordinary crime). Korupsi merugikan keuangan negara. Mengganggu jalannya pembangunan dan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa. Maka, para pelaku Tipikor haruslah dihukum berat dan dimiskinkan. Tidak cukup dengan dipenjara, namun juga dengan memaksa mereka mengembalikan aset atau dana yang diambilnya dengan melalui perampasan aset dan pidana denda sesuai jumlah yang mereka ambil.
Malah semua nampak wajar dan legal. Masalah muncul ketika dalam rangka memulihkan aset negara tersebut (asset recovery) penyidik melakukan penyitaan (dan lalu) perampasan terhadap apa yang dianggap sebagai ‘aset koruptor’ secara serampangan. Tak sekadar harta sang pelaku korupsi yang disita namun juga menyasar aset atau harta milik pihak ketiga yang beriktikad baik juga. Padahal, Pasal 19 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa: “Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan.
Latar Belakang
Terkait penyitaan aset yng di lakukan adanya keserampangan penyitaan/perampasan aset pihak ketiga yang beriktikad baik adalah kasus terkait tindak pidana korupsi yang terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya dan PT ASABRI. Dalam kasus Jiwasraya, pihak ketiga yang beriktikad baik, salah satunya adalah para nasabah Asuransi Jiwa Adisarana WanaArtha (AJAW). Kisruh dengan nasabah AJAW ini bermula semenjak AJAW menyatakan tidak bisa membayar kewajibannya kepada para nasabah pemegang polis dengan alasan aset-asetnya (berupa SID –Single Investor Identification– yang berisi rekening-rekening Sub Efek) disita oleh Kejaksaan Agung RI dalam kasus perusahaan Asuransi Jiwasraya dengan tersangka utama antara lain Benny Tjokro dan Heru Hidayat semenjak Februari 2020.
Padahal, AJAW bukanlah terdakwa dalam kasus Jiwasraya, apalagi para pemegang polis. Sampai bulan Juli 2021 ini AJAW dan Direksi AJAW juga bukanlah tersangka, terdakwa apalagi terpidana. Tetapi dalam hal ini nasabah Wanaartha telah dirugikan karena tidak mendapatkan nilai manfaat polis dan juga pembayaran premi jatuh tempo. Ada kurang lebih 46 nasabah AJAW yang berhimpun dalam wadah Swanaartha (dengan jumlah kurang lebih Rp40 miliar) dan nasabah AJAW yang berhimpun dalam wadah Forsawa Bersatu sekitar 40 nasabah (dengan total nilai Rp53 miliar) yang dananya tidak bisa dicairkan. Sementara masih banyak nasabah lainnya yang tidak berhimpun di kedua wadah tersebut yang juga dananya tak dapat dicairkan.
Aset AJAW disita dan dirampas oleh negara melalui Kejaksaan Agung, sehingga operasional Wanaartha sebagai perusahaan asuransi menjadi terganggu, di mana untuk bisa membayarkan manfaat kepada nasabah dengan memutarkan dananya di pasar modal. Sebab yang dirampas adalah Sub Rekening Efek yang terdapat di dalamnya Single Investor Identification (SID) atau Identitas Tunggal Investor di Pasar Modal Wanaarta beserta Sub Rekening Efeknya (SRE). Permasalahan terjadi akibat tim Kejaksaan Agung RI ketika pemblokiran 20 Januari 2020, kemudian penyitaan 7 April 2020 dan terakhir dirampas oleh negara berdasarkan amar putusan 26 Oktober 2020.
Saya berpendapat bahwa penyitaan terhadap aset/harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana akan berpotensi menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu ketika aset tersebut digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan, terlebih lagi ketika dilakukan perampasan guna mengembalikan kerugian negara. Salah satu yang dirugikan adalah pihak ketiga yang beriktikad baik. Karena, pihak ketiga tidak dapat menggunakan dan/atau memanfaatkan harta kekayaannya karena disita, diblokir, dibekukan untuk kepentingan pembuktian di persidangan atau dirampas berdasarkan keputusan pengadilan. Meskipun tidak ada satu pun perbuatan pihak ketiga yang dimintai pertanggungjawaban pidana terkait tindak pidana korupsi ataupun tindak pidana pencucian uang yang dilakukan tersangka atau terdakwa.
Maksud dan Tujuan
Berdasarkan indentifikasi masalah tersebut diatas tujuan penulis membuat makalah adalah sebagai berikut:
1.Untuk dapat mengetahui dan memahami hal yang terjadi terkait Ketidakkonsistenan Kepastian Hukum Ketika Terjadi Permasalahan Hukum Berkaitan Dengan Perampasan Aset.
2.Adapun Makalah ini dibuat sebagai tugas dari mata kuliah Penemuan Hukum Program Magister Hukum Universitas Eka Sakti
3.Berguna untuk menambah wawasan dan informasi bagi penulis dan para pembaca yang membutuhkan informasi terkait “Ketidakkonsistenan Kepastian Hukum Ketika Terjadi Permasalahan Hukum Berkaitan Dengan Perampasan Aset” yang dapat merugikan pihak ketiga seperti yang terjadi pada kasus PT. Asuransi Jiwa Adisarana WanaArtha (AJAW) yang dilakukan penyitaan aset oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia
Landasan Hukum
1.Pasal 19 UU No 31 tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tata cara pengajuan upaya hukum keberatan berdasarkan ketentuan Pasal 19 UU No 31 tahun 1999 Jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih menimbulkan beragam penafsiran karena ketidakjelasan norma, akibatnya putusan Hakim dalam perkara keberatan pihak ketiga beritikad baik cenderung beragam bergantung penafsiran masing-masing Hakim sehingga tidak mencerminkan keadilan dan kepastian hukum pada masyarakat.
2.Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-013/A/JA/06/2014 jo Peraturan Kejaksaan Agung RI No. 9 tahun 2019 bahwa pelaksanaan kegiatan pemulihan aset terkait tindak pidana (kejahatan pelanggaran), dan atau aset lainnya untuk kepentingan negara/korban/yang berhak harus dilaksanakan berdasarkan asas.
Kesimpulan
Terhadap kejadian peristiwa perampasan aset diatas tersebut adanya Ketidakkonsistenan Kepastian Hukum Ketika Terjadi Perampasan Aset yang akan dialami oleh pihak ketiga yang mana dalam hal perampasan aset dari pihak penegak hukum adanya pihak ketiga yang akan merasa dirugikan akibat perbuatan yang dilakukan dalam perampasan aset rersebut.
Karena dalam tindak pidana korupsi, korban tidak langsung (indirect victims)-nya adalah negara (dan juga masyarakat). Karena korupsi membuat pembangunan menjadi terhambat dan hak-hak masyarakat terganggu. Namun dalam penyitaan dan perampasan aset pihak ketiga yang beritikad baik yang menjadi korban langsung (direct victims) adalah pihak ketiga itu sendiri. Apalagi ketika aset/harta benda yang dirampas tersebut adalah aset utama dan penunjang kehidupannya. Kelangsungan hidup sehari-hari, pekerjaan, pendidikan, Kesehatan dan kesejahteraan dari sang pihak ketiga menjadi amat terdampak.
Kekosongan hukum dan kesulitan dalam memilah-milah harta asli hasil korupsi dan mana harta asli milik nasabah/ pihak ketiga yang beritikad baik adalah satu tantangan yang harus dapat diselesaikan oleh Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia. Hakim memiliki kewenangan untuk menemukan hukum (rechtsvinding atau judge made law). Nilai-nilai keadian yang bersifat materiil dan substantif harus dapat digali hakim. Tidak sekedar berpatokan pada keadilan yang bersifat formal dan procedural saja.
“Jangan sampai penegakan hukum dilakukan secara melanggar hukum. Jangan sampai kriminalisasi terhadap pelaku tipikor malah melahirkan viktimisasi terhadap pihak ketiga yang beritikad baik”.
Penulis: Soni,S.H