
Sumbar24jam.com|Limapuluh Kota – Setelah lama bak kapal karam, LSM Generasi Indonesia Bersih (GIB) muncul lagi ke permukaan. Bukan sekadar muncul, mereka langsung menohok isu sensitif: dugaan kisruh pembelian lahan RSUD di Jorong Ketinggian dan gaya kepemimpinan Bupati Limapuluh Kota yang waktu itu dinilai terlalu sibuk membangun citra ketimbang mengawasi OPD.
GIB mengingatkan, jangan sampai kesalahan masa lalu kembali berulang. Kebijakan Bupati sebelumnya yang dianggap keliru dalam mengelola pembelian lahan RSUD harus dijadikan cermin, bukan warisan yang diteruskan.
“Jangan sampai pola lama terulang. Kalau dulu ada kebijakan yang lebih mementingkan pencitraan ketimbang pengawasan serius, itu harus diputus. Bupati sekarang mesti belajar dari sejarah, agar tak lagi terseret pada kesalahan yang sama,” ujar Tedy Sutendi.
Menurut GIB, publik sudah cukup jenuh dengan kebijakan yang tak berpihak pada kebutuhan nyata masyarakat. Kesalahan dalam perencanaan dan tata kelola, apalagi di sektor kesehatan, bisa berakibat fatal. Karena itu, Bupati baru didesak untuk lebih fokus pada substansi pelayanan publik ketimbang sekadar membangun narasi indah di permukaan.
“Dinas kesehatan itu urusan hidup-mati rakyat. Jangan sampai dipegang orang yang salah, publik bisa bertanya-tanya,” tegas Ketua Umum GIB, Tedy Sutendi, SH. MH, dengan nada yang jelas menantang
Lahan RSUD: Harga Berubah, Publik Curiga
Awalnya, Kadis Kesehatan Yulia Masna menyebut harga tanah RSUD Rp80 ribu per meter. Tak lama berselang, ia muncul di media lain dan bilang harganya Rp90 ribu per meter. Seolah belum cukup bikin bingung, pesan yang sempat dikirimnya ke seorang wartawan malah dihapus.
“Pertama 80 ribu, lalu 90 ribu. Apa sebenarnya yang terjadi? Publik wajar curiga kalau informasi berubah-ubah,” sindir Tedy.
Bagi GIB, ketidakjelasan angka ini bukan sekadar salah bicara. Ada indikasi lain yang lebih serius: dugaan gratifikasi. “Apakah pejabat seperti ini masih layak dipertahankan?” tanya Tedy retoris.
Kritik Menohok untuk Safni Sikumbang
Sorotan GIB tidak berhenti di Kadis Kesehatan. Mereka juga mengarahkan lampu sorot ke Bupati Safni Sikumbang. Menurut Tedy, kesalahan terbesar seorang kepala daerah adalah percaya begitu saja pada laporan bawahan tanpa pengawasan serius.
“Kalau kepala daerah sibuk membangun image atau pencitraan, sementara pejabat di bawahnya bermain-main, ya rusaklah sistem itu,” ujarnya.
Dalam konteks RSUD, publik tidak butuh pemimpin yang pandai berpose di depan kamera. Mereka butuh pemimpin yang berani memastikan setiap rupiah uang rakyat tidak bocor di jalan.
Mundur Demi Bisa Lebih Galak
Sebagai bukti keseriusannya, Tedy memilih langkah ekstrem: mundur dari jabatannya sebagai penasehat hukum Pemkab Limapuluh Kota. Surat resmi sudah ia serahkan ke Bagian Hukum pada Jumat, 22 Agustus 2025.
“Dengan ini saya menyatakan mundur. Saya ingin fokus mengawal jalannya pemerintahan lewat GIB. Supaya kami bisa kritis tanpa beban,” tulisnya.
Keputusan itu membuat GIB kini benar-benar bebas. Tanpa beban loyalitas ke Pemkab, mereka siap menjadi anjing penjaga (watchdog) yang menggonggong keras bila ada aroma penyalahgunaan kewenangan.
Alarm untuk Pemerintahan Baru
Kisruh lahan RSUD ini seolah jadi alarm dini bagi pasangan Safni–Ahlul. Pesannya jelas: jangan hanya membangun citra, sementara pondasi tata kelola retak di bawah permukaan.
Karena pada akhirnya, publik tidak bisa terus ditenangkan dengan senyum dan spanduk. Mereka menuntut jawaban yang jujur, kebijakan yang transparan, dan pengawasan yang nyata.
Dan GIB—yang lama mati suri—kini sudah bangkit kembali, siap mengingatkan pemerintah bahwa rakyat bukan sekadar penonton, tapi pemilik sah kursi kekuasaan.(***)